membesut karat lelaku dengan linangan air suci,
lihatlah luruhnya...,
adakah sesalmu terapung padanya
Jumat, 04 September 2009
Titis
Titis,
Begitu namamu. Dalam bahasa Jawa, titis menyandang arti reinkarnasi, pun bermakna tepat sasaran.
Titis,
Mungkin ayahmu mengharap banyak pada jiwa mendiang kakekmu, yang sekarang bersemayam tenang di ujung gumpalan awan. Merambat pelan di ujung Semeru. Menjaga derajat-derajat suhu yang membeku di lereng Selatan, Geger Baya.
Atau ia berharap, ketenangan nenekmu menitis padamu, seperti Ranu Pani dan Ranu Kumbolo, yang beriak tenang di pagi-pagi sunyi, tengadah, membiarkan kulitnya disetubuhi kabut. Ia dingin, namun penuh hasrat terpendam. Mungkin ayahmu berharap, agar ketenangan pribadimu, membungkus hebat hasratmu, seperti Semeru, yang tiap saat mampu menyembur murka.
Seperti juga sabana-sabana yang mengkrabi punggungnya, ia berharap, agar kau mampu menumbuh cita hijau di hamparan tandus.
Seperti juga gulma-gulma di lereng kaldera, ayahmu mendoa, agar kau mampu bertahan dalam kemiringan, berujung kawah membara. Berusaha menyipit pandang dihantam bintik tabir badai pasir, tak bermuara. Bukankah hidup adalah perjuangan panjang yang bertepi kematian.
Titis,
Matamu sipit, tebal beralis. Mengerjap perlahan berusaha menepis, sedikit debu yang menempel di lentik bulu matamu, manis. Ayahmu berharap, nalurimu setajam tatap matamu, titis, fokus pada titik, bukan garis. Kau akan berhasil meniti hidupmu, pada nestapa kau kalis, pada rintangan kau tak berlepas pada angan, tan lalana, teruslah menggurui laku makna.
Titis,
Ibumu kini bersiap, melarung sukma. Meski kuberharap bisa menitis padamu, namun ibu lebih rela, bila sifat-sifat mulia leluhurmu, menyuntingmu. Biar kini ibu tetirah, membesut jiwa pada punggung Mahameru, meniti laku mendahuluimu.
Banggalah pada leluhurmu Titis, sebab ibumu sarimbit lelaku, tut wuri handayani
---------------------
kalis : tidak mempan, tak mau menyatu
tan lalana : pantang putus asa ( Semboyan Mahapatih Gajah Mada )
sarimbit lelaku : berjalan menyertai, beriringan
tut wuri handayani : mendukung dari belakang
Begitu namamu. Dalam bahasa Jawa, titis menyandang arti reinkarnasi, pun bermakna tepat sasaran.
Titis,
Mungkin ayahmu mengharap banyak pada jiwa mendiang kakekmu, yang sekarang bersemayam tenang di ujung gumpalan awan. Merambat pelan di ujung Semeru. Menjaga derajat-derajat suhu yang membeku di lereng Selatan, Geger Baya.
Atau ia berharap, ketenangan nenekmu menitis padamu, seperti Ranu Pani dan Ranu Kumbolo, yang beriak tenang di pagi-pagi sunyi, tengadah, membiarkan kulitnya disetubuhi kabut. Ia dingin, namun penuh hasrat terpendam. Mungkin ayahmu berharap, agar ketenangan pribadimu, membungkus hebat hasratmu, seperti Semeru, yang tiap saat mampu menyembur murka.
Seperti juga sabana-sabana yang mengkrabi punggungnya, ia berharap, agar kau mampu menumbuh cita hijau di hamparan tandus.
Seperti juga gulma-gulma di lereng kaldera, ayahmu mendoa, agar kau mampu bertahan dalam kemiringan, berujung kawah membara. Berusaha menyipit pandang dihantam bintik tabir badai pasir, tak bermuara. Bukankah hidup adalah perjuangan panjang yang bertepi kematian.
Titis,
Matamu sipit, tebal beralis. Mengerjap perlahan berusaha menepis, sedikit debu yang menempel di lentik bulu matamu, manis. Ayahmu berharap, nalurimu setajam tatap matamu, titis, fokus pada titik, bukan garis. Kau akan berhasil meniti hidupmu, pada nestapa kau kalis, pada rintangan kau tak berlepas pada angan, tan lalana, teruslah menggurui laku makna.
Titis,
Ibumu kini bersiap, melarung sukma. Meski kuberharap bisa menitis padamu, namun ibu lebih rela, bila sifat-sifat mulia leluhurmu, menyuntingmu. Biar kini ibu tetirah, membesut jiwa pada punggung Mahameru, meniti laku mendahuluimu.
Banggalah pada leluhurmu Titis, sebab ibumu sarimbit lelaku, tut wuri handayani
---------------------
kalis : tidak mempan, tak mau menyatu
tan lalana : pantang putus asa ( Semboyan Mahapatih Gajah Mada )
sarimbit lelaku : berjalan menyertai, beriringan
tut wuri handayani : mendukung dari belakang
Bulan Di Atas Rawa
kau pikir kau bulat melingkar, dengan rona lembut keperakan, berpendar?
tidak sayang, aku bosan melihatmu menyombongi langit malam,
mengira telah mengalahkan kerlip bintang, apalagi sekadar kunang-kunang..
kau tahu.., aku kini menatapmu sekenanya, di dalam rawa,
kau tidaklah bulat, peang, berpendar-pendar, terputus-putus...,
bahkan oleh sekelumit riak yang ditinggalkan jejak katak
sinar kebanggaanmu tertutup lumut-lumut, dan angkuhmu kini terbayar, saat gerimis tiba
pugar..., sinarmu tertelan rawa
sejenak awan bergeser, menutup singgasana langit, kau sirna
rawa itu masih disana..
tidak sayang, aku bosan melihatmu menyombongi langit malam,
mengira telah mengalahkan kerlip bintang, apalagi sekadar kunang-kunang..
kau tahu.., aku kini menatapmu sekenanya, di dalam rawa,
kau tidaklah bulat, peang, berpendar-pendar, terputus-putus...,
bahkan oleh sekelumit riak yang ditinggalkan jejak katak
sinar kebanggaanmu tertutup lumut-lumut, dan angkuhmu kini terbayar, saat gerimis tiba
pugar..., sinarmu tertelan rawa
sejenak awan bergeser, menutup singgasana langit, kau sirna
rawa itu masih disana..
Memilih Hikmat
membisik mantra seperti tabib,
tapi kau berjenggot tuan,
jubahmu menyentuh tanah-tanah seteru ini,
tanganmu mendekap ujung surban
sedangkan jemarimu terus saja menggumamkan manik-manik
merapal doa seperti ustad,
tapi kau beranting tuan,
celanamu lusuh, berpotong robek di lututmu
mengintip ujung tribal tatto-tattomu
sedangkan tanganmu tengadah, bukan berdoa, tapi kau tawadhu
berpetuah seperti kiai,
tapi kau tak membuka kitab tuan,
tanganmu menunjuk-nunjuk sesama, namun beda bendera
seringkali jemarimu berubah, menepis liar tanda mengusir
sedangkan suaramu telah bergetar, menarikpun tiada
menghiba seperti pengemis,
tapi tanganmu di atas tuan
menetes hikmat pada penadah dahaga
jalanmu seok, tongkatmu renta teronggok
sedangkan tatapanmu, melebihi hangatnya pelukan Jibril pada sang Nabi
tapi kau berjenggot tuan,
jubahmu menyentuh tanah-tanah seteru ini,
tanganmu mendekap ujung surban
sedangkan jemarimu terus saja menggumamkan manik-manik
merapal doa seperti ustad,
tapi kau beranting tuan,
celanamu lusuh, berpotong robek di lututmu
mengintip ujung tribal tatto-tattomu
sedangkan tanganmu tengadah, bukan berdoa, tapi kau tawadhu
berpetuah seperti kiai,
tapi kau tak membuka kitab tuan,
tanganmu menunjuk-nunjuk sesama, namun beda bendera
seringkali jemarimu berubah, menepis liar tanda mengusir
sedangkan suaramu telah bergetar, menarikpun tiada
menghiba seperti pengemis,
tapi tanganmu di atas tuan
menetes hikmat pada penadah dahaga
jalanmu seok, tongkatmu renta teronggok
sedangkan tatapanmu, melebihi hangatnya pelukan Jibril pada sang Nabi
Kekasih Bayangan
kau menghitam, melata sepanjang tanah gersang,
ujung kakimu saling tertaut
mengikat bayangan,
sebab padamu kucurahkan cahaya cinta
ujung kakimu saling tertaut
mengikat bayangan,
sebab padamu kucurahkan cahaya cinta
Tiba-tiba
seperti petaka
mengguncang
tiba-tiba,
kau datang
mengguncang
tiba-tiba,
kau kuras
kata-kata
terbata,
kau peras
air mata,
menghujani tenteram hatiku
dengan cemburu
lalu berlagak seperti awan
ringan berarak
lenyap tanpa jejak
tiba-tiba
mengguncang
tiba-tiba,
kau datang
mengguncang
tiba-tiba,
kau kuras
kata-kata
terbata,
kau peras
air mata,
menghujani tenteram hatiku
dengan cemburu
lalu berlagak seperti awan
ringan berarak
lenyap tanpa jejak
tiba-tiba
Terpiuh
menjelma zarah sebagai debu,
aku berpilin
dipusar angin
aku berpasrah ingin
kau piuh diriku beribu,
aku membumbung
bangga melambung
rindu terusung
mendekati matahari,
hangatmu selimuti
menampar langit biru
hasratmu menyertaku
aku menjauh bumi,
melayang, menggapai ekstasi
sejak jiwaku terpiuh meraihmu
--------------------------
ter·pi·uh : terpilin; terpulas; tergeliat
aku berpilin
dipusar angin
aku berpasrah ingin
kau piuh diriku beribu,
aku membumbung
bangga melambung
rindu terusung
mendekati matahari,
hangatmu selimuti
menampar langit biru
hasratmu menyertaku
aku menjauh bumi,
melayang, menggapai ekstasi
sejak jiwaku terpiuh meraihmu
--------------------------
ter·pi·uh : terpilin; terpulas; tergeliat
Menghablur
serpihan masa yang kugenggam
menyatu terikat kusam malam
lalu menjentik-jentik ingatan
untuk menyusunnya, aku enggan
terus saja ia mengusik
aku coba abai, tak melirik
tapi selalu saja tersisa ruang
di pekarangan jantungku nan gersang
kupungut satu,
terkesima.., ia telah matang disitu
karna kusam-kusam kisah telah mengabur,
ia begitu memukau.., menghablur!
---------------------
hablur: 1 benda keras yg bening spt kaca; kristal; 2 bentuk padat yg homogen dan bersudut dr suatu zat; 3 ki sesuatu yg tampak bening berkilau (tt mata); bersinar-sinar: gadis itu bermata --;
menghablur: 1 menjadi hablur; mengkristal; 2 ki menjadi (tampak) bersinar-sinar (tt mata);
menyatu terikat kusam malam
lalu menjentik-jentik ingatan
untuk menyusunnya, aku enggan
terus saja ia mengusik
aku coba abai, tak melirik
tapi selalu saja tersisa ruang
di pekarangan jantungku nan gersang
kupungut satu,
terkesima.., ia telah matang disitu
karna kusam-kusam kisah telah mengabur,
ia begitu memukau.., menghablur!
---------------------
hablur: 1 benda keras yg bening spt kaca; kristal; 2 bentuk padat yg homogen dan bersudut dr suatu zat; 3 ki sesuatu yg tampak bening berkilau (tt mata); bersinar-sinar: gadis itu bermata --;
menghablur: 1 menjadi hablur; mengkristal; 2 ki menjadi (tampak) bersinar-sinar (tt mata);
Air Kehidupan
di sungai ini aku mandi, di sungai ini aku sikat gigi, di sungai ini aku melukiskan ritual-ritual pagi, yang terapung menyusuri siang-siang di kota penuh daki
mereka berlalu ditepian sungai, menutup hidung, bergegas tinggalkan deret-deret gubug terpasung
mereka bilang air keruhku ini penuh limbah, polusi, aku mencari mati.
mereka yang lain, dibalik baju-baju birokrasi, menggelar meja-meja dikelilingi kamera,
"Entaskan mereka!".. normalisasi kehidupan, perspektif tanpa cakrawala
aku tak menghenyak sedikitpun tuan,
sebab di sungai hitam ini,
ibuku menanak nasi buat bapakku, seorang kuli
dan airnya mengaliri bubur-bubur bayam saat kami bayi
ari-ari kami, dicuci disini, dan dikuburkan tepat di tepi
di gelas-gelas kaleng berhias karat, ia tersaji berupa teh hangat
saat-saat ibuku bangga membayang beranda restoran seberang jalan
ibuku bilang,
"meski air ini menghitam,
tak akan mampu ia menggelapkan hatimu,
selama kamu membentang ladang
di hamparan dadamu,
membangun surau-surau pelibas galau,
lalu kau gantungkan lentera abadi
di tiang kepercayaan
dan kau jaga apinya dengan keimanan dan keikhlasan..."
aku bergegas, mencelup kedua tanganku
membenam melibas, mengalirkan wudhu
sejenak aku mengerling,
beratus insan telah mengalirkan air tak mengering
dari ruang bersuci..di masjid, tepat diatas gubuk kami
dan sisa air wudhunya mengalir, dari pipa-pipa, mengucuri legam sungai ini
bismillah,
aku bersuci
mereka berlalu ditepian sungai, menutup hidung, bergegas tinggalkan deret-deret gubug terpasung
mereka bilang air keruhku ini penuh limbah, polusi, aku mencari mati.
mereka yang lain, dibalik baju-baju birokrasi, menggelar meja-meja dikelilingi kamera,
"Entaskan mereka!".. normalisasi kehidupan, perspektif tanpa cakrawala
aku tak menghenyak sedikitpun tuan,
sebab di sungai hitam ini,
ibuku menanak nasi buat bapakku, seorang kuli
dan airnya mengaliri bubur-bubur bayam saat kami bayi
ari-ari kami, dicuci disini, dan dikuburkan tepat di tepi
di gelas-gelas kaleng berhias karat, ia tersaji berupa teh hangat
saat-saat ibuku bangga membayang beranda restoran seberang jalan
ibuku bilang,
"meski air ini menghitam,
tak akan mampu ia menggelapkan hatimu,
selama kamu membentang ladang
di hamparan dadamu,
membangun surau-surau pelibas galau,
lalu kau gantungkan lentera abadi
di tiang kepercayaan
dan kau jaga apinya dengan keimanan dan keikhlasan..."
aku bergegas, mencelup kedua tanganku
membenam melibas, mengalirkan wudhu
sejenak aku mengerling,
beratus insan telah mengalirkan air tak mengering
dari ruang bersuci..di masjid, tepat diatas gubuk kami
dan sisa air wudhunya mengalir, dari pipa-pipa, mengucuri legam sungai ini
bismillah,
aku bersuci
Langganan:
Postingan (Atom)