Selasa, 18 Agustus 2009

64

bila ini usia manusia
kau telah renta, wahai negara
manula yang butuh penyangga

bangsa, seperti juga manusia
lahirmu sama
menumpah darah, memekik rasa
nyawa-nyawa meregang membenih harap
harap-harap meremang, menunggu berdirinya tiarap

mengasuhmu dalam kandungan
bukan seperti elusan bidan
tapi 10 bersaudara bapakku sirna, bersama tanah-tanah tumpah darah mereka
aku lahir tanpa uwak, kawan..mau berkata apa
yang masih aku ingat, dari kisah-kisahnya, mereka binasa di bawah pekik, merdeka!

64 tahun yang lalu, bapakku memeluk bedil, berdiri tegak mengumandang Indonesia Raya
lagu yang sama, di pelataran debu sekolahku, yatimku mengadu, menggumam kata
Indonesia Raya, merdeka...merdeka!
tahukah kawan, kenapa miris ini memeras bola mata?

sejak ibuku sanggup membeli TV, (setelah hari-hari tak berbedak yang dihematnya...)
aku tak pernah henyak, menatap layar kaca itu, tahun demi tahun
menatap paskibraka dengan rapi kaki mengayun
melantun Indonesia Raya, hingga sang Saka menyentuh angkasa
menikmati paduan suara murid-murid yang melagu bangga
dadaku masih saja berdegup kencang
saat 17 kali dentuman meriam membentak tanah lapang
paruku masih menyesak pilu
menyimak teks Proklamasi, seakan rasaku mewakili bapakku kala itu
bibirku masih menggumam, memeluk dada
" Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya..."

jangan kau tertawa kawan, melihat sudut mata ini melembab, dan memerah basah
mungkin kau tak pernah menangkap cerita-cerita nestapa bapakku di medan laga
mungkin kau tak pernah menyimak nada-nada bangga darinya saat menyebut, Indonesia merdeka
mungkin kau tak pernah duduk menyudut menahan lapar, bukan karena puasa,
tapi karena kau tak tahu.. kapan hendak berbuka

kau takkan pernah tahu,
saat kupeluk potongan kain lusuh berwarna dua itu,
dadaku selalu menendang-nendangkan timpani, seperti gendang yang bertalu
orkes hatiku membahana,
aku teringat bapak yang bersemayam di surga,
aku teringat bangsa dan negara, yang dibelanya menyabung nyawa,
aku teringat tetes demi tetes peluh bunda menyambung hidup dan wawasan kami, anak-anaknya
aku teringat setiap doa malam-malamku, setelah tetirahnya gitarku, pencari nafkahku
aku teringat hari-hari diktat-demi diktat berkejaran dengan biaya yang semakin tak terjangkau

maka,
enampuluh empat bukanlah usia renta pada jiwa
ia seharusnya dewasa
seperti juga bangsa-bangsa lain yang memulai hidup dari titik nadirnya
mereka bisa, kawan
mereka kini mengepak sayap, tinggalkan kita
disini, bersama kebanggaan nisbi

aku tahu,
patriotismemu akan bergerak protes
membantah keras, dan mengaku negeri ini telah maju

tengoklah, kawan
bagaimana kau bisa bilang, negeri ini telah bebas korupsi
bila pegawai-pegawai negeri lebih kenyang mengunyah gratifikasi, daripada gaji
bila proyek-proyek meriah, dicabuli komisi
bila penegak-penegak hukum menegak kolusi

rasakan, kawan
bagaimana kau lantang menyebut gemah ripah loh jinawi
bila tambang-tambang dibuat arisan, negeri lain bebas mengangkuti
sementara rakyat kecil terengah membeli minyak yang muncrat dari negeri sendiri

tataplah kawan,
dari olah raga hingga teknologi tinggi
otak bangsa kita tiada dihargai
berduyun-duyun mereka mengungsi
di negara mereka martabat dan prestasi manusia lebih dihargai

renungkan, kawan
sementara bangsa-bangsa lain memacu industri
kita sibuk mengimpor sisa faktori
bangsa lain melenting diri ke angkasa raya
kita masih bangga dengan dukun dan slogan-slogan hampa

simaklah kawan,
negeri tetangga membuka beasiswa untuk anak-anak kita
tapi kita berlomba menaikkan biaya universitas negara
rakyat miskin tak akan mampu membeli ilmu
lalu kapan kita bisa berdiri, dan bangkit!

enam puluh empat tahun bukan renta tuan, tapi juga bukan balita
merah dan putih itu masih disana, di ujung tiang, nyaris menyentuh angkasa
tapi pernahkah kita merentang nyali,
mengerek bendera harkat kita, ke ujung prestasi
jangan hanya bangga mengunyah krupuk di ujung tali, kawan
anak-anakmu menanti,
berapa juta orang tua yang galau,
bila mereka sadar, bahwa mereka tak tahu...akan dibawa kemana anak-anaknya merantau

enam puluh empat tahun umur republik ini,
sudah saatnya kini kita bertanya balik ...
"Apa yang sudah negara berikan untuk bekal anak-anak kami...?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar