Selasa, 18 Agustus 2009

Hasduk Berpola

Kurobek belacu kumal, bekas alas tidurku dulu, kupotong rapi ujung-ujungnya, membentuk segitiga. Lalu aku berpikir sebentar, mencari sisa-sisa perca di peti rotan tempat ibuku membuang sisa potongan kain, kutemukan satu, oh, dua lembar sisa bahan, beberapa hari yang lalu aku ingat, ada seorang SPG menjahitkan baju seragam warna merah. Namun aku amati, kain merah ini tidak polos, ada tekstur-tekstur berpola. Merahnyapun bukan seperti bendera, agak ke arah ungu.

Aku mencari gunting yang biasa dipakai ibuku, kupotong kain merah itu, memanjang, lalu kujahit di sepanjang tepi segitiga blacu putih tadi. Jadilah hasduk.

Aku tidaklah berani minta ibu membeli ganti hasduk pramukaku yang hilang minggu lalu. Sebab hasduk itu terbawa becak langganan si Kemal temanku. Aku nebeng jemputan becaknya, karena kakiku terkilir saat berlatih memanjat tali.

" Kemal, kamu lihat hasdukku ga kemarin, kelihatannya tertinggal di becak langgananmu.."

" Wah, kalau sudah terbawa pak Man keliling-keliling ya pasti hilang Bud.."

Aku tahu, untuk makan saja uang ibu pas-pasan, apalagi untuk membeli hasduk baru, sungguh merupakan beban bagi Ibu, maka itu aku jalankan ide kreatif membuat hasduk sendiri.

----------

Aku tidak menyangka ide kreatifku bakal menjadi petaka. Sore ini aku berdiri di sudut lapangan volley sekolah. Aku disetrap!

" Kamu tahu! Hasduk merah putih itu lambang bendera kita, jiwa bangsa kita! Kenapa kamu mengubah merahnya menjadi begitu, dengan pola-pola lagi! Beraninya kamu mengaku pramuka penggalang! ", kak Seno, pembina kami mendamprat.

" Belum lagi putihnya, belacu belel kamu sebut lambang kesucian?! "

Aku menunduk, aku memang bersalah. Aku sedih, malu campur dengan amarah. Aku sedih, karena mengingat ibuku, bila saja ibuku bukan janda miskin buruh jahit, dia pasti bisa membelikanku hasduk baru di toko perlengkapan pramuka di depan sekolahku. Aku malu, karena aku harus berdiri di setrap di depan teman-temanku, apalagi aku adalah ketua regu Macan, yang disegani regu-regu lainnya. Aku marah, kenapa ayahku dulu harus berperang sebagai pejuang, sehingga beliau sakit-sakitan karena kehidupan tak menentu saat bergerilya, dan harus wafat saat aku masih umur 8 tahun. Rasa itu berkecamuk di dada.

Sepulang latihan pramuka, aku lepas hasduk jadi-jadian itu, aku buang di bawah meja. Tepat saat itu kulihat sepasang kaki, berdiri tegar sejajar dengan kaki meja yang mulai dimakan karat. Hasduk itu dipungut, lalu dibuka perhahan, sehingga sempurna membentang segitiga, putih, dengan merah di tepiannya. Ibu memandangku, tersenyum.

" Bud..., kau tahu, merah putih inilah yang dijunjung almarhum ayahmu. Padanya ia menyerah raga, bahkan nyawa pada akhirnya. Janganlah kau campakkan ia di bawah meja. Sebenarnya ibu bangga, kau telah mampu menyusunnya, mewakili jiwa negeri, pada hasduk ini. Dan kaupun telah memakainya di lehermu. Ayahmu pasti bangga padamu, di atas sana..."

" Tapi bu, itu bukan hasduk standar yang pantas untuk dibanggakan..."

" Hasduk ini memang bukan dibeli di toko Pak Amin, hasduk ini memang bukan terbikin dari katun yang biasa kamu pakai nak..., bahkan, ibu tahu, merah ini lebih ke ungu...dan banyak bintik-bintik pola di atasnya. Namun..., tahukah kamu nak, merahnya mewakili keberanianmu menjahitnya, dan membuatnya sendiri untuk membantu ibumu menghemat uang makan kita. Dan belacu ini..., meski ia tidak seputih katun, blacu ini menjadi saksi nak, ayahmulah yang mengalasi dan mengawasi tidurmu ketika kamu bayi..., blacu ini saksi cintanya padamu, dan pada ibumu ini.."

Aku terpaku, kerongkonganku tercekat.

" Pakailah kembali hasdukmu ini minggu depan, tunjukkan hormatmu pada hasduk kebangganmu ini. Merahnya adalah semangatmu. Putihnya adalah kasih abadi kita. Maka orang lain akan merasakannya juga nak. Percayalah... "

------------

Hasduk ini masih tersimpan di tas sekolahku. Nanti sore adalah jadwal latihan pramuka. Meski ibuku telah memberiku banyak kata-kata, namun tetap saja ragu dan was-was menyelimuti benakku, akankah aku kena setrap lagi?

Gubrakksss!!!!, selanjutnya adalah suara mengaduh si Kemal temanku. Becak langganannya masuk selokan, karena menghindari seorang anak yang menyeberang tiba-tiba. Dia meringis memegang lengannya,

" Aduuuhhh!!!!! ", teriaknya ketika pak Man mencoba mengangkatnya, aku tahu, pasti dia mengalami patah tulang, melihat posisi terakhir lengannya yang tertekuk diantara roda becak dan tepian selokan. Aku bergerak cepat, kuambil sebatang kayu yang tergeletak di dekat pagar sekolah, lalu kupakai untuk menyangga lengan Kemal yang patah. Secepat kilat, hasdukku melilit ujung kayu itu. Kulihat pak Man menyodorkan sebuah hasduk lain untuk mengikat ujung satunya lagi.

" Ahhh...., itu hasdukku ya Pak Man...ketemu dimana? ", teriakku,

" Pak Man simpan kok den..., kemarin tertinggal di becak Pak Man..."

Kemal masih saja meringis, lalu pak Man bergegas membawanya ke rumah sakit, aku berlari pulang memberitahu ibuku.

----------

" Terimakasih ya bu, terimakasih ya Bud, kamu memang anak pintar dan hebat, tak sia-sia kamu jadi pramuka.., ibumu pasti bangga padamu."

Tante Rini, ibunya Kemal, berterimakasih pada ibuku dan aku. Aku menatap ibu, ia mengedipkan mata. Lalu kami beranjak pulang.

Di rumah, aku menatap hasduk itu, kurenungkan lagi kata-kata ibuku. Lalu perlahan ia kumasukkan ke dalam kotak kayu kecil, tempat almarhum ayahku selalu menyimpan bendera merah putih, baret dan pin kebanggaannya.

" Hasduk itu pantas berada disitu Bud..., bersama kebanggaan ayahmu yang lainnya.."

----------

Peti ini kutemukan diantara tumpukan berkas usang di gudang rumah ibuku. Aku sedang ambil cuti, mumpung anak-anak juga sedang libur. Aku membukanya dengan gemetar, aku tahu dan hapal sekali, apa isi peti ini. Anakku mendekat,

" Apa ini ayah? "

" Hasduk "

" Oh.., yang untuk dasi anggota pramuka itu ya yah..? "

" Yup... "

" Wah.., kalau dulu hasduknya keren ya yah... gak norak, merahnya berpola-pola jadi warnanya ga mbosenin... kenapa sekarang hasduknya jadi kaya bendera ya yah...?"

" Makanya aku kemarin waktu ekskul milih ikutan drum band aja yah.., ga mau ikut pramuka, males... lagian temen-temen ga ada yang mau ikut pramuka. Mungkin tahun depan ekskul pramuka ditiadakan yah... ga ada peminatnya..."

Ada yang mengiris-iris, tragis atau ironis?

2 komentar:

  1. inspiratif mas, gak salah mbak key pilih cerita ini, dapet ide dari mana mas?

    BalasHapus
  2. SALAM PRAMUKA....,
    Saya terkesan dengan cerita ini,
    harapan q dengan diangkatnya cerita ini ke layar lebar, dapat mengubah paradigma anak bangsa untuk dapat lebih menghargai dan mencintai tanah airnya, terlebih jasa para pahlawan yang telah memerdekakan Indonesia.....

    BalasHapus