Jumat, 04 September 2009

Tuluskah

membesut karat lelaku dengan linangan air suci,
lihatlah luruhnya...,
adakah sesalmu terapung padanya

Titis

Titis,
Begitu namamu. Dalam bahasa Jawa, titis menyandang arti reinkarnasi, pun bermakna tepat sasaran.

Titis,
Mungkin ayahmu mengharap banyak pada jiwa mendiang kakekmu, yang sekarang bersemayam tenang di ujung gumpalan awan. Merambat pelan di ujung Semeru. Menjaga derajat-derajat suhu yang membeku di lereng Selatan, Geger Baya.
Atau ia berharap, ketenangan nenekmu menitis padamu, seperti Ranu Pani dan Ranu Kumbolo, yang beriak tenang di pagi-pagi sunyi, tengadah, membiarkan kulitnya disetubuhi kabut. Ia dingin, namun penuh hasrat terpendam. Mungkin ayahmu berharap, agar ketenangan pribadimu, membungkus hebat hasratmu, seperti Semeru, yang tiap saat mampu menyembur murka.
Seperti juga sabana-sabana yang mengkrabi punggungnya, ia berharap, agar kau mampu menumbuh cita hijau di hamparan tandus.
Seperti juga gulma-gulma di lereng kaldera, ayahmu mendoa, agar kau mampu bertahan dalam kemiringan, berujung kawah membara. Berusaha menyipit pandang dihantam bintik tabir badai pasir, tak bermuara. Bukankah hidup adalah perjuangan panjang yang bertepi kematian.

Titis,
Matamu sipit, tebal beralis. Mengerjap perlahan berusaha menepis, sedikit debu yang menempel di lentik bulu matamu, manis. Ayahmu berharap, nalurimu setajam tatap matamu, titis, fokus pada titik, bukan garis. Kau akan berhasil meniti hidupmu, pada nestapa kau kalis, pada rintangan kau tak berlepas pada angan, tan lalana, teruslah menggurui laku makna.

Titis,
Ibumu kini bersiap, melarung sukma. Meski kuberharap bisa menitis padamu, namun ibu lebih rela, bila sifat-sifat mulia leluhurmu, menyuntingmu. Biar kini ibu tetirah, membesut jiwa pada punggung Mahameru, meniti laku mendahuluimu.
Banggalah pada leluhurmu Titis, sebab ibumu sarimbit lelaku, tut wuri handayani

---------------------
kalis : tidak mempan, tak mau menyatu
tan lalana : pantang putus asa ( Semboyan Mahapatih Gajah Mada )
sarimbit lelaku : berjalan menyertai, beriringan
tut wuri handayani : mendukung dari belakang

Bulan Di Atas Rawa

kau pikir kau bulat melingkar, dengan rona lembut keperakan, berpendar?
tidak sayang, aku bosan melihatmu menyombongi langit malam,
mengira telah mengalahkan kerlip bintang, apalagi sekadar kunang-kunang..
kau tahu.., aku kini menatapmu sekenanya, di dalam rawa,
kau tidaklah bulat, peang, berpendar-pendar, terputus-putus...,
bahkan oleh sekelumit riak yang ditinggalkan jejak katak
sinar kebanggaanmu tertutup lumut-lumut, dan angkuhmu kini terbayar, saat gerimis tiba
pugar..., sinarmu tertelan rawa

sejenak awan bergeser, menutup singgasana langit, kau sirna
rawa itu masih disana..

Memilih Hikmat

membisik mantra seperti tabib,
tapi kau berjenggot tuan,
jubahmu menyentuh tanah-tanah seteru ini,
tanganmu mendekap ujung surban
sedangkan jemarimu terus saja menggumamkan manik-manik

merapal doa seperti ustad,
tapi kau beranting tuan,
celanamu lusuh, berpotong robek di lututmu
mengintip ujung tribal tatto-tattomu
sedangkan tanganmu tengadah, bukan berdoa, tapi kau tawadhu

berpetuah seperti kiai,
tapi kau tak membuka kitab tuan,
tanganmu menunjuk-nunjuk sesama, namun beda bendera
seringkali jemarimu berubah, menepis liar tanda mengusir
sedangkan suaramu telah bergetar, menarikpun tiada

menghiba seperti pengemis,
tapi tanganmu di atas tuan
menetes hikmat pada penadah dahaga
jalanmu seok, tongkatmu renta teronggok
sedangkan tatapanmu, melebihi hangatnya pelukan Jibril pada sang Nabi

Kekasih Bayangan

kau menghitam, melata sepanjang tanah gersang,
ujung kakimu saling tertaut
mengikat bayangan,
sebab padamu kucurahkan cahaya cinta

Tiba-tiba

seperti petaka
mengguncang
tiba-tiba,

kau datang
mengguncang
tiba-tiba,

kau kuras
kata-kata
terbata,

kau peras
air mata,
menghujani tenteram hatiku
dengan cemburu

lalu berlagak seperti awan
ringan berarak
lenyap tanpa jejak
tiba-tiba

Terpiuh

menjelma zarah sebagai debu,
aku berpilin
dipusar angin
aku berpasrah ingin

kau piuh diriku beribu,
aku membumbung
bangga melambung
rindu terusung

mendekati matahari,
hangatmu selimuti
menampar langit biru
hasratmu menyertaku

aku menjauh bumi,
melayang, menggapai ekstasi

sejak jiwaku terpiuh meraihmu


--------------------------

ter·pi·uh : terpilin; terpulas; tergeliat

Menghablur

serpihan masa yang kugenggam
menyatu terikat kusam malam
lalu menjentik-jentik ingatan
untuk menyusunnya, aku enggan

terus saja ia mengusik
aku coba abai, tak melirik
tapi selalu saja tersisa ruang
di pekarangan jantungku nan gersang

kupungut satu,
terkesima.., ia telah matang disitu
karna kusam-kusam kisah telah mengabur,
ia begitu memukau.., menghablur!

---------------------

hablur: 1 benda keras yg bening spt kaca; kristal; 2 bentuk padat yg homogen dan bersudut dr suatu zat; 3 ki sesuatu yg tampak bening berkilau (tt mata); bersinar-sinar: gadis itu bermata --;
menghablur
: 1 menjadi hablur; mengkristal; 2 ki menjadi (tampak) bersinar-sinar (tt mata);

Air Kehidupan

di sungai ini aku mandi, di sungai ini aku sikat gigi, di sungai ini aku melukiskan ritual-ritual pagi, yang terapung menyusuri siang-siang di kota penuh daki
mereka berlalu ditepian sungai, menutup hidung, bergegas tinggalkan deret-deret gubug terpasung
mereka bilang air keruhku ini penuh limbah, polusi, aku mencari mati.
mereka yang lain, dibalik baju-baju birokrasi, menggelar meja-meja dikelilingi kamera,
"Entaskan mereka!".. normalisasi kehidupan, perspektif tanpa cakrawala

aku tak menghenyak sedikitpun tuan,
sebab di sungai hitam ini,
ibuku menanak nasi buat bapakku, seorang kuli
dan airnya mengaliri bubur-bubur bayam saat kami bayi
ari-ari kami, dicuci disini, dan dikuburkan tepat di tepi
di gelas-gelas kaleng berhias karat, ia tersaji berupa teh hangat
saat-saat ibuku bangga membayang beranda restoran seberang jalan

ibuku bilang,
"meski air ini menghitam,
tak akan mampu ia menggelapkan hatimu,
selama kamu membentang ladang
di hamparan dadamu,
membangun surau-surau pelibas galau,
lalu kau gantungkan lentera abadi
di tiang kepercayaan
dan kau jaga apinya dengan keimanan dan keikhlasan..."

aku bergegas, mencelup kedua tanganku
membenam melibas, mengalirkan wudhu
sejenak aku mengerling,
beratus insan telah mengalirkan air tak mengering
dari ruang bersuci..di masjid, tepat diatas gubuk kami
dan sisa air wudhunya mengalir, dari pipa-pipa, mengucuri legam sungai ini

bismillah,
aku bersuci

Selasa, 18 Agustus 2009

Hasduk Berpola

Kurobek belacu kumal, bekas alas tidurku dulu, kupotong rapi ujung-ujungnya, membentuk segitiga. Lalu aku berpikir sebentar, mencari sisa-sisa perca di peti rotan tempat ibuku membuang sisa potongan kain, kutemukan satu, oh, dua lembar sisa bahan, beberapa hari yang lalu aku ingat, ada seorang SPG menjahitkan baju seragam warna merah. Namun aku amati, kain merah ini tidak polos, ada tekstur-tekstur berpola. Merahnyapun bukan seperti bendera, agak ke arah ungu.

Aku mencari gunting yang biasa dipakai ibuku, kupotong kain merah itu, memanjang, lalu kujahit di sepanjang tepi segitiga blacu putih tadi. Jadilah hasduk.

Aku tidaklah berani minta ibu membeli ganti hasduk pramukaku yang hilang minggu lalu. Sebab hasduk itu terbawa becak langganan si Kemal temanku. Aku nebeng jemputan becaknya, karena kakiku terkilir saat berlatih memanjat tali.

" Kemal, kamu lihat hasdukku ga kemarin, kelihatannya tertinggal di becak langgananmu.."

" Wah, kalau sudah terbawa pak Man keliling-keliling ya pasti hilang Bud.."

Aku tahu, untuk makan saja uang ibu pas-pasan, apalagi untuk membeli hasduk baru, sungguh merupakan beban bagi Ibu, maka itu aku jalankan ide kreatif membuat hasduk sendiri.

----------

Aku tidak menyangka ide kreatifku bakal menjadi petaka. Sore ini aku berdiri di sudut lapangan volley sekolah. Aku disetrap!

" Kamu tahu! Hasduk merah putih itu lambang bendera kita, jiwa bangsa kita! Kenapa kamu mengubah merahnya menjadi begitu, dengan pola-pola lagi! Beraninya kamu mengaku pramuka penggalang! ", kak Seno, pembina kami mendamprat.

" Belum lagi putihnya, belacu belel kamu sebut lambang kesucian?! "

Aku menunduk, aku memang bersalah. Aku sedih, malu campur dengan amarah. Aku sedih, karena mengingat ibuku, bila saja ibuku bukan janda miskin buruh jahit, dia pasti bisa membelikanku hasduk baru di toko perlengkapan pramuka di depan sekolahku. Aku malu, karena aku harus berdiri di setrap di depan teman-temanku, apalagi aku adalah ketua regu Macan, yang disegani regu-regu lainnya. Aku marah, kenapa ayahku dulu harus berperang sebagai pejuang, sehingga beliau sakit-sakitan karena kehidupan tak menentu saat bergerilya, dan harus wafat saat aku masih umur 8 tahun. Rasa itu berkecamuk di dada.

Sepulang latihan pramuka, aku lepas hasduk jadi-jadian itu, aku buang di bawah meja. Tepat saat itu kulihat sepasang kaki, berdiri tegar sejajar dengan kaki meja yang mulai dimakan karat. Hasduk itu dipungut, lalu dibuka perhahan, sehingga sempurna membentang segitiga, putih, dengan merah di tepiannya. Ibu memandangku, tersenyum.

" Bud..., kau tahu, merah putih inilah yang dijunjung almarhum ayahmu. Padanya ia menyerah raga, bahkan nyawa pada akhirnya. Janganlah kau campakkan ia di bawah meja. Sebenarnya ibu bangga, kau telah mampu menyusunnya, mewakili jiwa negeri, pada hasduk ini. Dan kaupun telah memakainya di lehermu. Ayahmu pasti bangga padamu, di atas sana..."

" Tapi bu, itu bukan hasduk standar yang pantas untuk dibanggakan..."

" Hasduk ini memang bukan dibeli di toko Pak Amin, hasduk ini memang bukan terbikin dari katun yang biasa kamu pakai nak..., bahkan, ibu tahu, merah ini lebih ke ungu...dan banyak bintik-bintik pola di atasnya. Namun..., tahukah kamu nak, merahnya mewakili keberanianmu menjahitnya, dan membuatnya sendiri untuk membantu ibumu menghemat uang makan kita. Dan belacu ini..., meski ia tidak seputih katun, blacu ini menjadi saksi nak, ayahmulah yang mengalasi dan mengawasi tidurmu ketika kamu bayi..., blacu ini saksi cintanya padamu, dan pada ibumu ini.."

Aku terpaku, kerongkonganku tercekat.

" Pakailah kembali hasdukmu ini minggu depan, tunjukkan hormatmu pada hasduk kebangganmu ini. Merahnya adalah semangatmu. Putihnya adalah kasih abadi kita. Maka orang lain akan merasakannya juga nak. Percayalah... "

------------

Hasduk ini masih tersimpan di tas sekolahku. Nanti sore adalah jadwal latihan pramuka. Meski ibuku telah memberiku banyak kata-kata, namun tetap saja ragu dan was-was menyelimuti benakku, akankah aku kena setrap lagi?

Gubrakksss!!!!, selanjutnya adalah suara mengaduh si Kemal temanku. Becak langganannya masuk selokan, karena menghindari seorang anak yang menyeberang tiba-tiba. Dia meringis memegang lengannya,

" Aduuuhhh!!!!! ", teriaknya ketika pak Man mencoba mengangkatnya, aku tahu, pasti dia mengalami patah tulang, melihat posisi terakhir lengannya yang tertekuk diantara roda becak dan tepian selokan. Aku bergerak cepat, kuambil sebatang kayu yang tergeletak di dekat pagar sekolah, lalu kupakai untuk menyangga lengan Kemal yang patah. Secepat kilat, hasdukku melilit ujung kayu itu. Kulihat pak Man menyodorkan sebuah hasduk lain untuk mengikat ujung satunya lagi.

" Ahhh...., itu hasdukku ya Pak Man...ketemu dimana? ", teriakku,

" Pak Man simpan kok den..., kemarin tertinggal di becak Pak Man..."

Kemal masih saja meringis, lalu pak Man bergegas membawanya ke rumah sakit, aku berlari pulang memberitahu ibuku.

----------

" Terimakasih ya bu, terimakasih ya Bud, kamu memang anak pintar dan hebat, tak sia-sia kamu jadi pramuka.., ibumu pasti bangga padamu."

Tante Rini, ibunya Kemal, berterimakasih pada ibuku dan aku. Aku menatap ibu, ia mengedipkan mata. Lalu kami beranjak pulang.

Di rumah, aku menatap hasduk itu, kurenungkan lagi kata-kata ibuku. Lalu perlahan ia kumasukkan ke dalam kotak kayu kecil, tempat almarhum ayahku selalu menyimpan bendera merah putih, baret dan pin kebanggaannya.

" Hasduk itu pantas berada disitu Bud..., bersama kebanggaan ayahmu yang lainnya.."

----------

Peti ini kutemukan diantara tumpukan berkas usang di gudang rumah ibuku. Aku sedang ambil cuti, mumpung anak-anak juga sedang libur. Aku membukanya dengan gemetar, aku tahu dan hapal sekali, apa isi peti ini. Anakku mendekat,

" Apa ini ayah? "

" Hasduk "

" Oh.., yang untuk dasi anggota pramuka itu ya yah..? "

" Yup... "

" Wah.., kalau dulu hasduknya keren ya yah... gak norak, merahnya berpola-pola jadi warnanya ga mbosenin... kenapa sekarang hasduknya jadi kaya bendera ya yah...?"

" Makanya aku kemarin waktu ekskul milih ikutan drum band aja yah.., ga mau ikut pramuka, males... lagian temen-temen ga ada yang mau ikut pramuka. Mungkin tahun depan ekskul pramuka ditiadakan yah... ga ada peminatnya..."

Ada yang mengiris-iris, tragis atau ironis?

64

bila ini usia manusia
kau telah renta, wahai negara
manula yang butuh penyangga

bangsa, seperti juga manusia
lahirmu sama
menumpah darah, memekik rasa
nyawa-nyawa meregang membenih harap
harap-harap meremang, menunggu berdirinya tiarap

mengasuhmu dalam kandungan
bukan seperti elusan bidan
tapi 10 bersaudara bapakku sirna, bersama tanah-tanah tumpah darah mereka
aku lahir tanpa uwak, kawan..mau berkata apa
yang masih aku ingat, dari kisah-kisahnya, mereka binasa di bawah pekik, merdeka!

64 tahun yang lalu, bapakku memeluk bedil, berdiri tegak mengumandang Indonesia Raya
lagu yang sama, di pelataran debu sekolahku, yatimku mengadu, menggumam kata
Indonesia Raya, merdeka...merdeka!
tahukah kawan, kenapa miris ini memeras bola mata?

sejak ibuku sanggup membeli TV, (setelah hari-hari tak berbedak yang dihematnya...)
aku tak pernah henyak, menatap layar kaca itu, tahun demi tahun
menatap paskibraka dengan rapi kaki mengayun
melantun Indonesia Raya, hingga sang Saka menyentuh angkasa
menikmati paduan suara murid-murid yang melagu bangga
dadaku masih saja berdegup kencang
saat 17 kali dentuman meriam membentak tanah lapang
paruku masih menyesak pilu
menyimak teks Proklamasi, seakan rasaku mewakili bapakku kala itu
bibirku masih menggumam, memeluk dada
" Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya..."

jangan kau tertawa kawan, melihat sudut mata ini melembab, dan memerah basah
mungkin kau tak pernah menangkap cerita-cerita nestapa bapakku di medan laga
mungkin kau tak pernah menyimak nada-nada bangga darinya saat menyebut, Indonesia merdeka
mungkin kau tak pernah duduk menyudut menahan lapar, bukan karena puasa,
tapi karena kau tak tahu.. kapan hendak berbuka

kau takkan pernah tahu,
saat kupeluk potongan kain lusuh berwarna dua itu,
dadaku selalu menendang-nendangkan timpani, seperti gendang yang bertalu
orkes hatiku membahana,
aku teringat bapak yang bersemayam di surga,
aku teringat bangsa dan negara, yang dibelanya menyabung nyawa,
aku teringat tetes demi tetes peluh bunda menyambung hidup dan wawasan kami, anak-anaknya
aku teringat setiap doa malam-malamku, setelah tetirahnya gitarku, pencari nafkahku
aku teringat hari-hari diktat-demi diktat berkejaran dengan biaya yang semakin tak terjangkau

maka,
enampuluh empat bukanlah usia renta pada jiwa
ia seharusnya dewasa
seperti juga bangsa-bangsa lain yang memulai hidup dari titik nadirnya
mereka bisa, kawan
mereka kini mengepak sayap, tinggalkan kita
disini, bersama kebanggaan nisbi

aku tahu,
patriotismemu akan bergerak protes
membantah keras, dan mengaku negeri ini telah maju

tengoklah, kawan
bagaimana kau bisa bilang, negeri ini telah bebas korupsi
bila pegawai-pegawai negeri lebih kenyang mengunyah gratifikasi, daripada gaji
bila proyek-proyek meriah, dicabuli komisi
bila penegak-penegak hukum menegak kolusi

rasakan, kawan
bagaimana kau lantang menyebut gemah ripah loh jinawi
bila tambang-tambang dibuat arisan, negeri lain bebas mengangkuti
sementara rakyat kecil terengah membeli minyak yang muncrat dari negeri sendiri

tataplah kawan,
dari olah raga hingga teknologi tinggi
otak bangsa kita tiada dihargai
berduyun-duyun mereka mengungsi
di negara mereka martabat dan prestasi manusia lebih dihargai

renungkan, kawan
sementara bangsa-bangsa lain memacu industri
kita sibuk mengimpor sisa faktori
bangsa lain melenting diri ke angkasa raya
kita masih bangga dengan dukun dan slogan-slogan hampa

simaklah kawan,
negeri tetangga membuka beasiswa untuk anak-anak kita
tapi kita berlomba menaikkan biaya universitas negara
rakyat miskin tak akan mampu membeli ilmu
lalu kapan kita bisa berdiri, dan bangkit!

enam puluh empat tahun bukan renta tuan, tapi juga bukan balita
merah dan putih itu masih disana, di ujung tiang, nyaris menyentuh angkasa
tapi pernahkah kita merentang nyali,
mengerek bendera harkat kita, ke ujung prestasi
jangan hanya bangga mengunyah krupuk di ujung tali, kawan
anak-anakmu menanti,
berapa juta orang tua yang galau,
bila mereka sadar, bahwa mereka tak tahu...akan dibawa kemana anak-anaknya merantau

enam puluh empat tahun umur republik ini,
sudah saatnya kini kita bertanya balik ...
"Apa yang sudah negara berikan untuk bekal anak-anak kami...?"

Rabu, 27 Mei 2009

Khawatir

Jika setelah reinkarnasi, anjingku menjadi manusia
Lalu siapakah yang akan setia menemaniku

Eyang

melihat jasad menantunya,
lelaki tua itu menyesali gilirannya
ia yang menjumputnya dan menyandingkannya dengan anak perempuan satu-satunya
sementara cakrawala menjauhi remang senja
dan mata-mata mungil yang menatapnya
seperti meraih-raih sisa hidupnya

sisa uang pensiun yang menghimpit,
seperti lingkar celana yang makin menyempit
kini menuntut lipatan ujung-unjungnya seperti pelipit
tiga nyawa lagi harus ternafkahi,
sementara seorang yang dulu membebasi... kini kembali

"ahh...kenapa aku menghitung untung rugi", serapahnya
"sementara aku masih sanggup membungkam mulut mengering perut"

lelaki tua itu bergegas melupa usia
laksana banteng muda..yang umurnya tertambat pada legenda,
ia melompat, mengayuh tenaga menambah jam lembur..,
"usahlah kau jadi penghibur... akan kucukupkan, meski tak bakal mencebur makmur.."

perempuan tua yang selalu mendukungnya dengan setumpuk usia,
hanya bisa bangga mendoa...
"jika bisa, panggillah hamba, agar tak makin bebani keriputnya"

... aku, pemilik mata mungil itu, kini menyipit pandang, kabur oleh genang mengenang

Puisi Untuk Bocah

hidup yang ia hirup
tak lebih nista dari yang kau raup
juga harkat dan nestapa
siapa berhak menjatahnya

bila kini ia meringkuk lelah dipembaringan.., tengadah
bukan berarti kau bisa seenaknya berlalu dengan gagah

yang disandangnya bukanlah musibah,
bukan pula petaka laknat terhibah,
ia hanya ujung dari kesombongan-kesombongan
dan kealpaan-kealpaan
muara-muara lupa akan hakikat insan...

ulurkan peluk,
saat ia masih bisa meraba dan merasa kasih
buanglah kutuk,
karna mereka bukanlah insan super tak kenal perih

bahkan seutas senyummu
akan membebas pilu yang menutup kalbu
dan selembut belai
mengangkat tubuh-tubuh lemah melunglai kulai

tatap kasihmu itu,
membungkus sekotak bekal, yang akan ia buka nanti... di rumah Tuhanmu

------------------------
...untuk bocah-bocah tercinta yang hidup bersama HIV....

Equilibrium

tak perlulah kau berharap badai pasti berlalu,
sebab gemuruhnya tiada abadi
dia yang menyembabkan wajah bumi
dia juga yang melambai pada matahari
agar mendekat dan menyeka hidup dengan cercah berpelangi

tak usahlah kau memaki banjir yang menghalau ladang-ladangmu,
sebab riuhnya riak kan mereda resap merunut kanal-kanal peraih tepi laut
dia yang menebar ratap dan menerbit kalut
dia pulalah yang menggembur tanah menyubur humus
agar menumbuh hijaukan pucuk bersama harapan yang nyaris pupus

tak malukah kau mengecam syukur yang harusnya kau panjatkan,
sebab tajamnya cobaan takkan pernah menumpulkan hidup fana
yang akan terus disinari dan dipeluki oleh kasihNya
ia hanya butuh sejenak masa
sampai temukan titik setimbangnya...

Dia mengirimku untukmu

saat tungkaimu luluh tersapu hidup berpeluh,
Dia mengirimkan aku, mengepak ringan bagai sayap melekat tubuh..
saat pelupukmu sembab terkaburi kabut perih,
Dia menyapukan punggung tanganku mereda rintih..
saat kau tersimpuh letih menopang rasa tersakiti,
Dia mengubahku jadi batang penyanggahmu berdiri..
saat kau renta dimakan sendu usia,
Dia menanamkan benihku di ladang-ladang asa..

Aku disini,
Dia mengirimku untukmu..

Berkawan Dajjal

Mulut-mulut berpintu kaca, biarkan ia berderit tersapu angin yang meniupkan gosip-gosip murah. Semurah bakul gendong yang dikempit gadis belia penjaja jamu, diikat selendang merah.
Jika lalu mulut itu hanya mengucap kata basi berjudul sampah, siapa yang berhak melarang. Pendengarnya, yang sungguh dungu, atau berlagak tau, hanya punya kuasa memilih,
menelan...atau memuntahkan!

Lalu ia menggayuh langit, berharap meningkat derajat. Sejatinya ia berselimut kesombongan dan tanpa sadar, matahari membakar, selebihnya hanya jasad terkapar.
Ingin berlaripun, tapaknya kecil terbebal kain berbatik-batik. Motifnya terbalik.
Jika aku menyimak, tawa tergelak...namun kutelan pelan agar tak tampak mengejan.

Kusambar seonggok batu, duduk menunggu....kincir itu memutar waktu. Tiba saat angin Barat memukat hasrat, aku melirik...ahhh, dia mulai tertarik-tarik. Hayalan-hayalan imaji yang bertanduk bertaji, yang beberapa saat tadi membawanya meninggi..., kini menyeretnya keji...,
Ia kembali pada asal, terseok-seok terseret terjal.
Kau berkawan dengan Dajjal.

Setia

Nestapa yang mengerat hatimu, semenjak kau mengenalku, bukanlah seperti piala yang dianugerahkan padamu. Dia lebih seperti bola yang kau sepak, lalu menggelindingi lapangan rumput penghampar kisah, mulai dari yang hijau hingga lubang-lubang becek berbatas rumput kuning mengering.
Kau bertanggungjawab akan laju arahnya. Juga keras lemahnya.

Mengapa sekarang telunjukmu tepat menghujam jidatku. Gampang saja aku mengelak, sesungguhnya. Namun aku justru menghambur padamu, hingga jemarimu menghunjam melebur di jonjot otakku. Tidakkah kau merasakan kedekatan, dan bahwa semua sel cerdas itu terpusat...menuju tepat ke jantungmu.

Tanggalkan semua pakaianmu itu, gelar-gelarmu, dan atribut pembumbung congkakmu. Bertelanjang, dan menyelamlah ke palung-palung gelap dingin di dasar jiwaku. Kau akan temui, bahwa sinarku tlah habis kau konsumsi. Dan jika kau temukan, satu-satunya yang hangat di dasar sana...adalah tubuhmu. Karna aku membeku menghangatimu.

Jika kini kau beranjak pergi, setelah puas memaki. Aku sama sekali tak berpaling.

Strategi Ibuku

Kau selalu menebar semangat, bahkan ketika lukamu tercampak di celah-celah saat. Seperti ketika kau paruti nasi hangat itu dengan kelapa bergaram, kau tersenyum, "Nak, inilah menu kegemaran yang Ibu idamkan...". Aku mengangguk...terpesona pada binar matanya, dan tak sabar menunggu tutupnya doa, mengerah jari menyantap pengenyang hari.
(Ketika dewasa, aku belajar..., inilah rumus syukur, pembalik nestapa)

Di saat lain, ketika kau mengundangku duduk melingkar meja. Diatas kursi berkaki tiga, bukan karena disain interior terkemuka, namun lebih karena satu kaki penyangga telah tiada, wafat dimakan usia.
Kau berfatwa, "Kita memburu cinta Tuhan yang tlah memberi segala."
"Dengan apa wahai ibunda..?", sergahku mengernyit beban
"Puasa..., satu-satunya ibadah yang sangat pribadi, antara kita dengan Yang Kuasa"
Aku mengangguk... melapar dahaga adalah hal yang biasa.
(Ketika dewasa, aku sadar..., inilah kebijakan mengatur cashflow paling manjur dari manajemen single parent gaya ibuku)

Sekali waktu, ketika aku hendak mengejar ilmu, kembali kau memanggilku. "Mendiang ayahmu melontar pesan terakhir, apapun yang terjadi...kau harus terwisuda, menggenggam ilmu tak berbatas tinggi, apapun yang terjadi!"
Aku gemetar membayang beban, namun gemerutuk semangat dan gelora niat menepis takutku.
(Ketika dewasa, jelas tergambar...inilah teori edifikasi, yang melipatgandakan semangat dengan perintah mengatasnama sosok terbangga)

Sesalmu

bahkan aku tak peduli kemana diriku menjadi,
akan kunikmati sekaratku
hingga ajal sempurnakan sesalmu..

Elang Putih

jika kau terlahir malam ini, atau bahkan pagi nanti
aku tiadalah peduli
bahkan jadimupun aku tak punya kuasa
kejadiannya milik sang Kuasa..

jika kini,
kau berteriak lantang membelah angkasa, tautnya gemintang
aku yang bersorak girang
tiada pernah sanggup meregang jiwa seperti ibumu yang kucinta
aku kecewa kala dia tak bisa berbagi lara

sekarang,
saat kulihat bulu putihmu memurni hati membersih niat
aku bersyukur, tak ada noktah walau sekelebat
kau jabat hati suci itu
seperti harapku atas doa-doaku

kubelai bahu kekarmu,
yang kelak akan mengepak..
kukecup paruh kokoh meruncing ucap,
yang kelak wakili beribu harap..
kukagumi mata tajam tak berkedip itu,
harapku, pandang hidupmu akan seawas dan setajam kalbu..

lekaslah besar elang putihku,
tak sabar aku mewariskan :
amanah pengorbanan dan ibadah..
ruang ladang tempat berjuang,
dan sebongkah batu yang harus kau pahat,
dengan kucuran keringat..
sekedar ikrar janji, bahwa kau kelak menurunkan elang putih-elang putih
dengan jiwa kokoh nan jernih..

Aku dan Kau, maduku

aku dan kau mengorbit pada matahari yang sama,
menghirupi ruang hampa ini semakin membuat kita sama,
terengah..

kau mengklaim sinarnya mencapaimu,
sementara aku menikmati prominensa bertalu
yang menjilati pagiku dengan kehangatan impulsif
kau sungguh naif..

aku yang ber-revolusi
sementara kau banggakan rotasi
aku yang berselimut asteroid
kau diam membeku, frigid

Ironi

Namaku Maryono Mardikun,
Umurku 48 tahun,
Pekerjaanku bertani, seperti juga pekerjaan eyang kakung,
Masa kerjaku 30 tahun, sama dengan umur anakku yang sulung,

Hartaku,
Sebuah gubug sekaligus kandang,
Sepeda tua pengangkut rumput dan istri tuk bertandang,
Seekor sapi,
Dan empat biri-biri,

Alamatku,
Negara Republik Indonesia
Negeri agraris yang makmur, gemah ripah loh jinawi!

Kidung Rabun Sang Kelelawar

Aku meminjam pita suara burung-burung berkepala anjing, dan berperan menjadi. Aku menyimak pantulan bunyi yang seolah memekik, namun tiada. Aku mengandalkan telinga-telinga yang melebar dan memicing tanda, sambil terus mengepak sayap dan bergerak tanpa irama, namun tetap dalam barisan.
Saat gelap menimang kelam, aku sama sekali tiada risau. Bahkan senyum menggenang di wajah anjingku, dan mengenang sayap-sayap burungku. Aku terus bergerak, dan terus berteriak.

Kawan-kawanku mengiring gerakku, aku menukik mereka menukik, aku membumbung mereka melambung. Kontinyus, membentuk arkus, dengan beribu pasukan menyertai...kami seperti asap mengukus, bergumpal melukisi senja semburat tembaga.

Aku menunggu, saat pengagum-pengagumku melalai rasa memuja buta. Mereka hanya mendongak, berdecak dan berdiri menegak. Namun kakinya tetap tertambat di dermaga-dermaga tanah liat, sementara aku melayang melanglang buana.
Mereka takjub dan mengagumi gerakku, yang indah, gesit, penuh improvisasi. Mereka memandang iri, namun tak hendak bisa menyentuh. Mereka bersimpuh, membayangkan pandang dari atas...saat aku melayang-layang mendekati ufuk, mentari, bintang...bahkan bulan.
Mereka memujaku bak dewata...,
Padahal aku buta!

Kepala Batu

Antara sungai-sungai genangan air mata penindasan, dan delta-delta endapan kedongkolan, menyatu di pantai-pantai air tawar yang menyaru seperti tanjung laut penuh buih putih keperakan. Arus bawahnya menyelinapkan lumpur penebas tirani.
Pekat melumat.

Ia yang bertahta diatas bekunya darah jelata, memantul pantat menikmati empuknya tubuh tambun berkeringat dosa yang menetesi lantai marmer, altar korban-korban kesewenangan.
Kau masih saja bertembang pangkur, sementara sahayamu mendengar lengkingan durma.

Oh tuan besar pelupa makna, singgahlah sejenak di kedai-kedai bambu, minumlah teh pahit ini bersama gula-gula batu, agar kau tahu seteguk hidup berpahit dan arti kepala batu.

Fana

Maka bersyukurlah kau wahai dara terputus cinta. Karena sedihmu itu mewakili kematian kecilmu. Dan memberimu gegambaran tentang sang 'fana'.

Disana kamu temukan makna. Sebab hadirnya.., dan kenangan itu menyala ketika gelap rasamu menyelubung rindu. Ia terlihat terang karena gelap hatimu. Ia terlihat nyata karena rasa kehilanganmu. Ia terbit karna asamu terbenam.
Maka nikmatilah kesedihanmu itu.

Dan pertemuan itu menjadi berbunga-bunga sebab 'fana' menaburkan warna tembaga pada guguran daun kering di musim gugur. Ia menjelma, dan melukisi saat-saat itu dengan tinta pelangi, bernama kenangan.
Kepedihan rasa, dan makna kehilangan itu..hadirkan babak-babak sukamu menjadi panorama penjelma surga.

Kemudian, pelabuhan cinta itu menanti hempasan badai terakhir, yang mengujungi harapan melaut dengan tambatan temali bertaut. Kau berlabuh.
Fana menghentikan lakumu, lakunya...dan menandai dimulainya babak berikut.

Begitu juga hidup.

Hikayat Putri Sang Resi

Lalu kenapatah hamba, yang berdarah brahmani
Harus tunduk simpuh diperistri
Sudra celaka bersimbah durhaka
yang menjubahi diri dengan sandang satria

Kelak di hari-hari suci
Kan datang sang titisan Rakai
Mengudar lara menyadar rasa
Bersama badai yang memporanda sang raka


Oh ramanda, sang Resi,
tubuh ini tlah ternodai
hati ini tlah diperkosai
hinalah kini yang hamba rasai

Hina harkat yang kau biarkan menyelinap melalui kulit dagingmu
takkan pernah mampu menyentuh selaput hatimu
Disana tersimpan kehormatanmu
Yang menanti pelepasan..datangnya sang penoreh kalbu


Apatah tanda-tanda itu
Berilah hamba harapan pengudap nestapa
agar patik tahu
Bila dia datang membawa karma

Saat pemanggul saka menyelinap bersama penjor
dan hamba-hamba sahaya berbaris mengacung obor
sepasang mata akan beradu
dengan haribaanmu
itulah penanda temu
yang akan memandat
amanah leluhurmu


Setia tuhu hamba menggugu maharesi, sang guru
Merendah dada hamba meniru laku
Bila harkat kan membawa bangsa ini menghentak padu
Hamba kan berpasrah sementara waktu
Hingga saat itu...

Mestinya Aku Memelukmu

mestinya aku di sana,
memelukmu..
meski tungkaipun luluh menahan beban,
aku akan duduk memelukmu..
kalaupun punggung tak hendak menegak

aku tetap memelukmu..terkapar!

Merindumu

aku merindumu
hingga rongga jantung ini mengering darah
berganti harap akan hadirmu

aku merindumu,
hingga kepala ini kosong, berganti zarah
yang menyusun namamu

aku merindumu,
hingga aku abai akan sehatku
percuma aku rawat tanpamu..
hingga tak peduli akan hidupku
tak guna tanpa kau di sisiku..

aku merindumu,
sekalipun kutahu
kau tlah berjuang tuk membuang

kuingin gagalkan perjuanganmu itu,
seperti aku yang gagal menghapusmu..

Kemeja Tua dan Kenangan

Kaukah itu yang berusaha meninggalkanku, sedangkan aku tahu, serpihan hatimu ada padaku. Seperti juga pecahan parumu yang masih saja kubungkus rapi di lipatan kemeja tua ini. Kubawa kemana pergi.
Lalu bagaimana kau akan bernapas dan bercinta tanpaku?

Sekalipun kau telah pergi, dan menggumam pengumuman pada sesiapa yang kau temui, namun ujung lidahmu masih menghangati ujung bibirku. Juga bibirmu, yang terus saja kukulum rapat, bertahi lalat.
Bagaimana kau akan bicara tanpaku, apalagi akan mengucap rindu? Kau takkan bisa berpaling dariku.

Ah.., itu hanya pikiran dan harapku!
Tapi tidak, dengan kemeja tua ini bersamaku..., masih tersisa bau parfummu yang melekat, campur keringat.

Apakah Aku Bagimu

Saat kau gemetar meraih pijakan, kemanakah aku... yang biasanya menyambutkan tungkai tuk kau pakai. Akupun sedang memuai, sayang...
Kau tak melihat, aku tak memandang.. bagaimana dialog kan berkumandang, serapahpun yang tertahan sopan, kini bertandang.
Garang menendang.

Kau yang sedang merapuh, tak tampakkah aku sedang meluluh. Bahkan mengaduhpun serasa aku menjauh.
Bukan...bukan itu sayang, aku meluruh, aku letih berbadai dan ingin berlabuh. Melesu tubuh.
Lusuh melepuh.

Kini kau pergi, semua telah berbeda katamu. Meski berulang kali aku mengingati... aku masih yang dulu, tak percayakah kamu. Tidak!..katamu, dan aku terisak mengendara waktu.
Kaukah itu, yang selalu kutunggu di malam sepiku, yang mengisi nafasku dengan embun pagi, dan membuka tirai kamarku dengan sapaan wangi melati. Kini melenggang pergi...
Sekelebat aku tatap punggungmu, yang melebar layar..menayang diorama hatimu yang lengang.
Disana ada aku.
Apakah aku hanya sejarahmu?

Tragis (Sebuah Dongeng Tentang Hari...)

Mengapatah dinda berkeras pergi
Sedang kakanda masih disini
Berlutut mati mengharap kembali
Tiadakah kau pandangi bibir hatiku menghasrat diri

Kanda cintaku
Penulis bait-bait puisi hidupku
Relakan aku berlayar
Mengarung samudra ikhtiar


Tak cukup kata hendak kulempar
Tak banyak rasa pedih kautampar
Aku bersimpuh di tungkai lumpuh
Berisak peluh memohon labuh

Aku bukanlah putrimu yang dulu
Semua berubah semua berlalu
Aku merana bukan bahagia
Tinggalkan kanda sendiri nestapa


Bila dinda melaut lara
Mestikah biduk melaju kendara
Tinggalkan ladang dan tanah pusaka
Nasib kakanda sebatang kara

Usah berpanjang usah memandang
Biarkan hamba menghilang pandang
Melesat arah menyambut remang
Hingga mentari menggelap awang


.... jikalau bahasa bertutup kalbu
.... jikalau kata telah membisu
.... sehunus pedang berbicara, dan cerita berubah laku

.... saat sang putri kembali, hanya kubur tertemu
.... sang pangeran hanya dikenang nama dipuji setia
.... sedangkan putri... membawa putra, dan raja muda penghapus duka

Aneh

ketika aku berikrar,
Kaulah cinta terakhirku

lalu mengapa aku protes dan terbakar,
saat kau selingkuhiku

Mati Suri

ragaku berkelana seharian mengudap rindu..
ia berperas peluh, harap nafkah terengkuh
namun hatiku beku..
diam membisu,

mengenangmu,
sungguh menyiksa nafasku,
sesak membebani paru,
hingga jantungku enggan memburu
aku melunglai hasrat melemah kalbu
pandangku luruh tak hendak menegak

jiwaku menolak hari,
mati suri

Ternyata

Jika genosida tak juga beranjak dari catur yuda dunia,
Kenapakah sekarang kau sibuk membunuhi nyamuk yang sukahati melakukannya,
Sementara manusia-manusia itu tak pernah kau taburi abate pada kolam renangnya,
Dan kau semburi DDT di peraduannya....

Kau pilih kasih,
ternyata....