Rabu, 27 Mei 2009

Khawatir

Jika setelah reinkarnasi, anjingku menjadi manusia
Lalu siapakah yang akan setia menemaniku

Eyang

melihat jasad menantunya,
lelaki tua itu menyesali gilirannya
ia yang menjumputnya dan menyandingkannya dengan anak perempuan satu-satunya
sementara cakrawala menjauhi remang senja
dan mata-mata mungil yang menatapnya
seperti meraih-raih sisa hidupnya

sisa uang pensiun yang menghimpit,
seperti lingkar celana yang makin menyempit
kini menuntut lipatan ujung-unjungnya seperti pelipit
tiga nyawa lagi harus ternafkahi,
sementara seorang yang dulu membebasi... kini kembali

"ahh...kenapa aku menghitung untung rugi", serapahnya
"sementara aku masih sanggup membungkam mulut mengering perut"

lelaki tua itu bergegas melupa usia
laksana banteng muda..yang umurnya tertambat pada legenda,
ia melompat, mengayuh tenaga menambah jam lembur..,
"usahlah kau jadi penghibur... akan kucukupkan, meski tak bakal mencebur makmur.."

perempuan tua yang selalu mendukungnya dengan setumpuk usia,
hanya bisa bangga mendoa...
"jika bisa, panggillah hamba, agar tak makin bebani keriputnya"

... aku, pemilik mata mungil itu, kini menyipit pandang, kabur oleh genang mengenang

Puisi Untuk Bocah

hidup yang ia hirup
tak lebih nista dari yang kau raup
juga harkat dan nestapa
siapa berhak menjatahnya

bila kini ia meringkuk lelah dipembaringan.., tengadah
bukan berarti kau bisa seenaknya berlalu dengan gagah

yang disandangnya bukanlah musibah,
bukan pula petaka laknat terhibah,
ia hanya ujung dari kesombongan-kesombongan
dan kealpaan-kealpaan
muara-muara lupa akan hakikat insan...

ulurkan peluk,
saat ia masih bisa meraba dan merasa kasih
buanglah kutuk,
karna mereka bukanlah insan super tak kenal perih

bahkan seutas senyummu
akan membebas pilu yang menutup kalbu
dan selembut belai
mengangkat tubuh-tubuh lemah melunglai kulai

tatap kasihmu itu,
membungkus sekotak bekal, yang akan ia buka nanti... di rumah Tuhanmu

------------------------
...untuk bocah-bocah tercinta yang hidup bersama HIV....

Equilibrium

tak perlulah kau berharap badai pasti berlalu,
sebab gemuruhnya tiada abadi
dia yang menyembabkan wajah bumi
dia juga yang melambai pada matahari
agar mendekat dan menyeka hidup dengan cercah berpelangi

tak usahlah kau memaki banjir yang menghalau ladang-ladangmu,
sebab riuhnya riak kan mereda resap merunut kanal-kanal peraih tepi laut
dia yang menebar ratap dan menerbit kalut
dia pulalah yang menggembur tanah menyubur humus
agar menumbuh hijaukan pucuk bersama harapan yang nyaris pupus

tak malukah kau mengecam syukur yang harusnya kau panjatkan,
sebab tajamnya cobaan takkan pernah menumpulkan hidup fana
yang akan terus disinari dan dipeluki oleh kasihNya
ia hanya butuh sejenak masa
sampai temukan titik setimbangnya...

Dia mengirimku untukmu

saat tungkaimu luluh tersapu hidup berpeluh,
Dia mengirimkan aku, mengepak ringan bagai sayap melekat tubuh..
saat pelupukmu sembab terkaburi kabut perih,
Dia menyapukan punggung tanganku mereda rintih..
saat kau tersimpuh letih menopang rasa tersakiti,
Dia mengubahku jadi batang penyanggahmu berdiri..
saat kau renta dimakan sendu usia,
Dia menanamkan benihku di ladang-ladang asa..

Aku disini,
Dia mengirimku untukmu..

Berkawan Dajjal

Mulut-mulut berpintu kaca, biarkan ia berderit tersapu angin yang meniupkan gosip-gosip murah. Semurah bakul gendong yang dikempit gadis belia penjaja jamu, diikat selendang merah.
Jika lalu mulut itu hanya mengucap kata basi berjudul sampah, siapa yang berhak melarang. Pendengarnya, yang sungguh dungu, atau berlagak tau, hanya punya kuasa memilih,
menelan...atau memuntahkan!

Lalu ia menggayuh langit, berharap meningkat derajat. Sejatinya ia berselimut kesombongan dan tanpa sadar, matahari membakar, selebihnya hanya jasad terkapar.
Ingin berlaripun, tapaknya kecil terbebal kain berbatik-batik. Motifnya terbalik.
Jika aku menyimak, tawa tergelak...namun kutelan pelan agar tak tampak mengejan.

Kusambar seonggok batu, duduk menunggu....kincir itu memutar waktu. Tiba saat angin Barat memukat hasrat, aku melirik...ahhh, dia mulai tertarik-tarik. Hayalan-hayalan imaji yang bertanduk bertaji, yang beberapa saat tadi membawanya meninggi..., kini menyeretnya keji...,
Ia kembali pada asal, terseok-seok terseret terjal.
Kau berkawan dengan Dajjal.

Setia

Nestapa yang mengerat hatimu, semenjak kau mengenalku, bukanlah seperti piala yang dianugerahkan padamu. Dia lebih seperti bola yang kau sepak, lalu menggelindingi lapangan rumput penghampar kisah, mulai dari yang hijau hingga lubang-lubang becek berbatas rumput kuning mengering.
Kau bertanggungjawab akan laju arahnya. Juga keras lemahnya.

Mengapa sekarang telunjukmu tepat menghujam jidatku. Gampang saja aku mengelak, sesungguhnya. Namun aku justru menghambur padamu, hingga jemarimu menghunjam melebur di jonjot otakku. Tidakkah kau merasakan kedekatan, dan bahwa semua sel cerdas itu terpusat...menuju tepat ke jantungmu.

Tanggalkan semua pakaianmu itu, gelar-gelarmu, dan atribut pembumbung congkakmu. Bertelanjang, dan menyelamlah ke palung-palung gelap dingin di dasar jiwaku. Kau akan temui, bahwa sinarku tlah habis kau konsumsi. Dan jika kau temukan, satu-satunya yang hangat di dasar sana...adalah tubuhmu. Karna aku membeku menghangatimu.

Jika kini kau beranjak pergi, setelah puas memaki. Aku sama sekali tak berpaling.

Strategi Ibuku

Kau selalu menebar semangat, bahkan ketika lukamu tercampak di celah-celah saat. Seperti ketika kau paruti nasi hangat itu dengan kelapa bergaram, kau tersenyum, "Nak, inilah menu kegemaran yang Ibu idamkan...". Aku mengangguk...terpesona pada binar matanya, dan tak sabar menunggu tutupnya doa, mengerah jari menyantap pengenyang hari.
(Ketika dewasa, aku belajar..., inilah rumus syukur, pembalik nestapa)

Di saat lain, ketika kau mengundangku duduk melingkar meja. Diatas kursi berkaki tiga, bukan karena disain interior terkemuka, namun lebih karena satu kaki penyangga telah tiada, wafat dimakan usia.
Kau berfatwa, "Kita memburu cinta Tuhan yang tlah memberi segala."
"Dengan apa wahai ibunda..?", sergahku mengernyit beban
"Puasa..., satu-satunya ibadah yang sangat pribadi, antara kita dengan Yang Kuasa"
Aku mengangguk... melapar dahaga adalah hal yang biasa.
(Ketika dewasa, aku sadar..., inilah kebijakan mengatur cashflow paling manjur dari manajemen single parent gaya ibuku)

Sekali waktu, ketika aku hendak mengejar ilmu, kembali kau memanggilku. "Mendiang ayahmu melontar pesan terakhir, apapun yang terjadi...kau harus terwisuda, menggenggam ilmu tak berbatas tinggi, apapun yang terjadi!"
Aku gemetar membayang beban, namun gemerutuk semangat dan gelora niat menepis takutku.
(Ketika dewasa, jelas tergambar...inilah teori edifikasi, yang melipatgandakan semangat dengan perintah mengatasnama sosok terbangga)

Sesalmu

bahkan aku tak peduli kemana diriku menjadi,
akan kunikmati sekaratku
hingga ajal sempurnakan sesalmu..

Elang Putih

jika kau terlahir malam ini, atau bahkan pagi nanti
aku tiadalah peduli
bahkan jadimupun aku tak punya kuasa
kejadiannya milik sang Kuasa..

jika kini,
kau berteriak lantang membelah angkasa, tautnya gemintang
aku yang bersorak girang
tiada pernah sanggup meregang jiwa seperti ibumu yang kucinta
aku kecewa kala dia tak bisa berbagi lara

sekarang,
saat kulihat bulu putihmu memurni hati membersih niat
aku bersyukur, tak ada noktah walau sekelebat
kau jabat hati suci itu
seperti harapku atas doa-doaku

kubelai bahu kekarmu,
yang kelak akan mengepak..
kukecup paruh kokoh meruncing ucap,
yang kelak wakili beribu harap..
kukagumi mata tajam tak berkedip itu,
harapku, pandang hidupmu akan seawas dan setajam kalbu..

lekaslah besar elang putihku,
tak sabar aku mewariskan :
amanah pengorbanan dan ibadah..
ruang ladang tempat berjuang,
dan sebongkah batu yang harus kau pahat,
dengan kucuran keringat..
sekedar ikrar janji, bahwa kau kelak menurunkan elang putih-elang putih
dengan jiwa kokoh nan jernih..

Aku dan Kau, maduku

aku dan kau mengorbit pada matahari yang sama,
menghirupi ruang hampa ini semakin membuat kita sama,
terengah..

kau mengklaim sinarnya mencapaimu,
sementara aku menikmati prominensa bertalu
yang menjilati pagiku dengan kehangatan impulsif
kau sungguh naif..

aku yang ber-revolusi
sementara kau banggakan rotasi
aku yang berselimut asteroid
kau diam membeku, frigid

Ironi

Namaku Maryono Mardikun,
Umurku 48 tahun,
Pekerjaanku bertani, seperti juga pekerjaan eyang kakung,
Masa kerjaku 30 tahun, sama dengan umur anakku yang sulung,

Hartaku,
Sebuah gubug sekaligus kandang,
Sepeda tua pengangkut rumput dan istri tuk bertandang,
Seekor sapi,
Dan empat biri-biri,

Alamatku,
Negara Republik Indonesia
Negeri agraris yang makmur, gemah ripah loh jinawi!

Kidung Rabun Sang Kelelawar

Aku meminjam pita suara burung-burung berkepala anjing, dan berperan menjadi. Aku menyimak pantulan bunyi yang seolah memekik, namun tiada. Aku mengandalkan telinga-telinga yang melebar dan memicing tanda, sambil terus mengepak sayap dan bergerak tanpa irama, namun tetap dalam barisan.
Saat gelap menimang kelam, aku sama sekali tiada risau. Bahkan senyum menggenang di wajah anjingku, dan mengenang sayap-sayap burungku. Aku terus bergerak, dan terus berteriak.

Kawan-kawanku mengiring gerakku, aku menukik mereka menukik, aku membumbung mereka melambung. Kontinyus, membentuk arkus, dengan beribu pasukan menyertai...kami seperti asap mengukus, bergumpal melukisi senja semburat tembaga.

Aku menunggu, saat pengagum-pengagumku melalai rasa memuja buta. Mereka hanya mendongak, berdecak dan berdiri menegak. Namun kakinya tetap tertambat di dermaga-dermaga tanah liat, sementara aku melayang melanglang buana.
Mereka takjub dan mengagumi gerakku, yang indah, gesit, penuh improvisasi. Mereka memandang iri, namun tak hendak bisa menyentuh. Mereka bersimpuh, membayangkan pandang dari atas...saat aku melayang-layang mendekati ufuk, mentari, bintang...bahkan bulan.
Mereka memujaku bak dewata...,
Padahal aku buta!

Kepala Batu

Antara sungai-sungai genangan air mata penindasan, dan delta-delta endapan kedongkolan, menyatu di pantai-pantai air tawar yang menyaru seperti tanjung laut penuh buih putih keperakan. Arus bawahnya menyelinapkan lumpur penebas tirani.
Pekat melumat.

Ia yang bertahta diatas bekunya darah jelata, memantul pantat menikmati empuknya tubuh tambun berkeringat dosa yang menetesi lantai marmer, altar korban-korban kesewenangan.
Kau masih saja bertembang pangkur, sementara sahayamu mendengar lengkingan durma.

Oh tuan besar pelupa makna, singgahlah sejenak di kedai-kedai bambu, minumlah teh pahit ini bersama gula-gula batu, agar kau tahu seteguk hidup berpahit dan arti kepala batu.

Fana

Maka bersyukurlah kau wahai dara terputus cinta. Karena sedihmu itu mewakili kematian kecilmu. Dan memberimu gegambaran tentang sang 'fana'.

Disana kamu temukan makna. Sebab hadirnya.., dan kenangan itu menyala ketika gelap rasamu menyelubung rindu. Ia terlihat terang karena gelap hatimu. Ia terlihat nyata karena rasa kehilanganmu. Ia terbit karna asamu terbenam.
Maka nikmatilah kesedihanmu itu.

Dan pertemuan itu menjadi berbunga-bunga sebab 'fana' menaburkan warna tembaga pada guguran daun kering di musim gugur. Ia menjelma, dan melukisi saat-saat itu dengan tinta pelangi, bernama kenangan.
Kepedihan rasa, dan makna kehilangan itu..hadirkan babak-babak sukamu menjadi panorama penjelma surga.

Kemudian, pelabuhan cinta itu menanti hempasan badai terakhir, yang mengujungi harapan melaut dengan tambatan temali bertaut. Kau berlabuh.
Fana menghentikan lakumu, lakunya...dan menandai dimulainya babak berikut.

Begitu juga hidup.

Hikayat Putri Sang Resi

Lalu kenapatah hamba, yang berdarah brahmani
Harus tunduk simpuh diperistri
Sudra celaka bersimbah durhaka
yang menjubahi diri dengan sandang satria

Kelak di hari-hari suci
Kan datang sang titisan Rakai
Mengudar lara menyadar rasa
Bersama badai yang memporanda sang raka


Oh ramanda, sang Resi,
tubuh ini tlah ternodai
hati ini tlah diperkosai
hinalah kini yang hamba rasai

Hina harkat yang kau biarkan menyelinap melalui kulit dagingmu
takkan pernah mampu menyentuh selaput hatimu
Disana tersimpan kehormatanmu
Yang menanti pelepasan..datangnya sang penoreh kalbu


Apatah tanda-tanda itu
Berilah hamba harapan pengudap nestapa
agar patik tahu
Bila dia datang membawa karma

Saat pemanggul saka menyelinap bersama penjor
dan hamba-hamba sahaya berbaris mengacung obor
sepasang mata akan beradu
dengan haribaanmu
itulah penanda temu
yang akan memandat
amanah leluhurmu


Setia tuhu hamba menggugu maharesi, sang guru
Merendah dada hamba meniru laku
Bila harkat kan membawa bangsa ini menghentak padu
Hamba kan berpasrah sementara waktu
Hingga saat itu...

Mestinya Aku Memelukmu

mestinya aku di sana,
memelukmu..
meski tungkaipun luluh menahan beban,
aku akan duduk memelukmu..
kalaupun punggung tak hendak menegak

aku tetap memelukmu..terkapar!

Merindumu

aku merindumu
hingga rongga jantung ini mengering darah
berganti harap akan hadirmu

aku merindumu,
hingga kepala ini kosong, berganti zarah
yang menyusun namamu

aku merindumu,
hingga aku abai akan sehatku
percuma aku rawat tanpamu..
hingga tak peduli akan hidupku
tak guna tanpa kau di sisiku..

aku merindumu,
sekalipun kutahu
kau tlah berjuang tuk membuang

kuingin gagalkan perjuanganmu itu,
seperti aku yang gagal menghapusmu..

Kemeja Tua dan Kenangan

Kaukah itu yang berusaha meninggalkanku, sedangkan aku tahu, serpihan hatimu ada padaku. Seperti juga pecahan parumu yang masih saja kubungkus rapi di lipatan kemeja tua ini. Kubawa kemana pergi.
Lalu bagaimana kau akan bernapas dan bercinta tanpaku?

Sekalipun kau telah pergi, dan menggumam pengumuman pada sesiapa yang kau temui, namun ujung lidahmu masih menghangati ujung bibirku. Juga bibirmu, yang terus saja kukulum rapat, bertahi lalat.
Bagaimana kau akan bicara tanpaku, apalagi akan mengucap rindu? Kau takkan bisa berpaling dariku.

Ah.., itu hanya pikiran dan harapku!
Tapi tidak, dengan kemeja tua ini bersamaku..., masih tersisa bau parfummu yang melekat, campur keringat.

Apakah Aku Bagimu

Saat kau gemetar meraih pijakan, kemanakah aku... yang biasanya menyambutkan tungkai tuk kau pakai. Akupun sedang memuai, sayang...
Kau tak melihat, aku tak memandang.. bagaimana dialog kan berkumandang, serapahpun yang tertahan sopan, kini bertandang.
Garang menendang.

Kau yang sedang merapuh, tak tampakkah aku sedang meluluh. Bahkan mengaduhpun serasa aku menjauh.
Bukan...bukan itu sayang, aku meluruh, aku letih berbadai dan ingin berlabuh. Melesu tubuh.
Lusuh melepuh.

Kini kau pergi, semua telah berbeda katamu. Meski berulang kali aku mengingati... aku masih yang dulu, tak percayakah kamu. Tidak!..katamu, dan aku terisak mengendara waktu.
Kaukah itu, yang selalu kutunggu di malam sepiku, yang mengisi nafasku dengan embun pagi, dan membuka tirai kamarku dengan sapaan wangi melati. Kini melenggang pergi...
Sekelebat aku tatap punggungmu, yang melebar layar..menayang diorama hatimu yang lengang.
Disana ada aku.
Apakah aku hanya sejarahmu?

Tragis (Sebuah Dongeng Tentang Hari...)

Mengapatah dinda berkeras pergi
Sedang kakanda masih disini
Berlutut mati mengharap kembali
Tiadakah kau pandangi bibir hatiku menghasrat diri

Kanda cintaku
Penulis bait-bait puisi hidupku
Relakan aku berlayar
Mengarung samudra ikhtiar


Tak cukup kata hendak kulempar
Tak banyak rasa pedih kautampar
Aku bersimpuh di tungkai lumpuh
Berisak peluh memohon labuh

Aku bukanlah putrimu yang dulu
Semua berubah semua berlalu
Aku merana bukan bahagia
Tinggalkan kanda sendiri nestapa


Bila dinda melaut lara
Mestikah biduk melaju kendara
Tinggalkan ladang dan tanah pusaka
Nasib kakanda sebatang kara

Usah berpanjang usah memandang
Biarkan hamba menghilang pandang
Melesat arah menyambut remang
Hingga mentari menggelap awang


.... jikalau bahasa bertutup kalbu
.... jikalau kata telah membisu
.... sehunus pedang berbicara, dan cerita berubah laku

.... saat sang putri kembali, hanya kubur tertemu
.... sang pangeran hanya dikenang nama dipuji setia
.... sedangkan putri... membawa putra, dan raja muda penghapus duka

Aneh

ketika aku berikrar,
Kaulah cinta terakhirku

lalu mengapa aku protes dan terbakar,
saat kau selingkuhiku

Mati Suri

ragaku berkelana seharian mengudap rindu..
ia berperas peluh, harap nafkah terengkuh
namun hatiku beku..
diam membisu,

mengenangmu,
sungguh menyiksa nafasku,
sesak membebani paru,
hingga jantungku enggan memburu
aku melunglai hasrat melemah kalbu
pandangku luruh tak hendak menegak

jiwaku menolak hari,
mati suri

Ternyata

Jika genosida tak juga beranjak dari catur yuda dunia,
Kenapakah sekarang kau sibuk membunuhi nyamuk yang sukahati melakukannya,
Sementara manusia-manusia itu tak pernah kau taburi abate pada kolam renangnya,
Dan kau semburi DDT di peraduannya....

Kau pilih kasih,
ternyata....