Rabu, 27 Mei 2009

Setia

Nestapa yang mengerat hatimu, semenjak kau mengenalku, bukanlah seperti piala yang dianugerahkan padamu. Dia lebih seperti bola yang kau sepak, lalu menggelindingi lapangan rumput penghampar kisah, mulai dari yang hijau hingga lubang-lubang becek berbatas rumput kuning mengering.
Kau bertanggungjawab akan laju arahnya. Juga keras lemahnya.

Mengapa sekarang telunjukmu tepat menghujam jidatku. Gampang saja aku mengelak, sesungguhnya. Namun aku justru menghambur padamu, hingga jemarimu menghunjam melebur di jonjot otakku. Tidakkah kau merasakan kedekatan, dan bahwa semua sel cerdas itu terpusat...menuju tepat ke jantungmu.

Tanggalkan semua pakaianmu itu, gelar-gelarmu, dan atribut pembumbung congkakmu. Bertelanjang, dan menyelamlah ke palung-palung gelap dingin di dasar jiwaku. Kau akan temui, bahwa sinarku tlah habis kau konsumsi. Dan jika kau temukan, satu-satunya yang hangat di dasar sana...adalah tubuhmu. Karna aku membeku menghangatimu.

Jika kini kau beranjak pergi, setelah puas memaki. Aku sama sekali tak berpaling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar