Rabu, 27 Mei 2009

Strategi Ibuku

Kau selalu menebar semangat, bahkan ketika lukamu tercampak di celah-celah saat. Seperti ketika kau paruti nasi hangat itu dengan kelapa bergaram, kau tersenyum, "Nak, inilah menu kegemaran yang Ibu idamkan...". Aku mengangguk...terpesona pada binar matanya, dan tak sabar menunggu tutupnya doa, mengerah jari menyantap pengenyang hari.
(Ketika dewasa, aku belajar..., inilah rumus syukur, pembalik nestapa)

Di saat lain, ketika kau mengundangku duduk melingkar meja. Diatas kursi berkaki tiga, bukan karena disain interior terkemuka, namun lebih karena satu kaki penyangga telah tiada, wafat dimakan usia.
Kau berfatwa, "Kita memburu cinta Tuhan yang tlah memberi segala."
"Dengan apa wahai ibunda..?", sergahku mengernyit beban
"Puasa..., satu-satunya ibadah yang sangat pribadi, antara kita dengan Yang Kuasa"
Aku mengangguk... melapar dahaga adalah hal yang biasa.
(Ketika dewasa, aku sadar..., inilah kebijakan mengatur cashflow paling manjur dari manajemen single parent gaya ibuku)

Sekali waktu, ketika aku hendak mengejar ilmu, kembali kau memanggilku. "Mendiang ayahmu melontar pesan terakhir, apapun yang terjadi...kau harus terwisuda, menggenggam ilmu tak berbatas tinggi, apapun yang terjadi!"
Aku gemetar membayang beban, namun gemerutuk semangat dan gelora niat menepis takutku.
(Ketika dewasa, jelas tergambar...inilah teori edifikasi, yang melipatgandakan semangat dengan perintah mengatasnama sosok terbangga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar