Rabu, 27 Mei 2009

Kidung Rabun Sang Kelelawar

Aku meminjam pita suara burung-burung berkepala anjing, dan berperan menjadi. Aku menyimak pantulan bunyi yang seolah memekik, namun tiada. Aku mengandalkan telinga-telinga yang melebar dan memicing tanda, sambil terus mengepak sayap dan bergerak tanpa irama, namun tetap dalam barisan.
Saat gelap menimang kelam, aku sama sekali tiada risau. Bahkan senyum menggenang di wajah anjingku, dan mengenang sayap-sayap burungku. Aku terus bergerak, dan terus berteriak.

Kawan-kawanku mengiring gerakku, aku menukik mereka menukik, aku membumbung mereka melambung. Kontinyus, membentuk arkus, dengan beribu pasukan menyertai...kami seperti asap mengukus, bergumpal melukisi senja semburat tembaga.

Aku menunggu, saat pengagum-pengagumku melalai rasa memuja buta. Mereka hanya mendongak, berdecak dan berdiri menegak. Namun kakinya tetap tertambat di dermaga-dermaga tanah liat, sementara aku melayang melanglang buana.
Mereka takjub dan mengagumi gerakku, yang indah, gesit, penuh improvisasi. Mereka memandang iri, namun tak hendak bisa menyentuh. Mereka bersimpuh, membayangkan pandang dari atas...saat aku melayang-layang mendekati ufuk, mentari, bintang...bahkan bulan.
Mereka memujaku bak dewata...,
Padahal aku buta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar